//
you're reading...
Uncategorized

Mbolang ning Trowulan

Mengisi liburan bertanggal merah, melangkahkan kaki menuju jejak-jejak peninggalan Kerajaan Majapahit … 🙂

GAPURA BAJANG RATU

(CANDI BAJANG RATU)

fsghj

Gapura Bajang Ratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Masyarakat setempat menyebutnya “Candi Bajang Ratu”. Nama Bajang Ratu mungkin berhubungan dengan Raja Jayanegara. Bajang berarti kerdil, kecil seperti istilah “Pabajangan” yang berarti kuburan anak kecil. Menurut Pararaton dan menurut cerita rakyat. Jayanegara dinobatkan tatkala masih “Bajang”, sehingga gelar Ratu Bajang atau Bajang Ratu melekat padanya. Gapura Bajang Ratu dilihat dari bentuknya merupakan bangunan pintu gerbang tipe paduraksa, yaitu gapura yang memiliki atap.

Bangunan ini berada pada ketinggian 41,49 m di atas permukaan air laut, orientasinya mengarah Timur Laut-Tenggara. Bangunan ini terbuat dari bahan bata kecuali lantai tangga (bordes) serta ambang pintu (bawah dan atas) yang dibuat dari batu andesit. Denah bangunan berbentuk segi empat, berukuran: 11,5 x 10,5 m. Tinggi bangunan 16,5 m dan lorong pintu masuk lebarnya kira-kira 1,40 m. Secara vertikal Gapura Bajang Ratu dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu kaki, tubuh dan atap gapura. Selain itu gapura mempunyai sayap dan pagar tembok di kedua sisinya. Kaki Gapura tingginya 2,48 m.

1

Struktur kaki terdiri dari bingkai bawah, badan kaki, dan bingkai atas. Bingkai-bingkai terdiri dari susunan pelipit-pelipit rata dan bingkai sisi genta. Pada sudut-sudut kaki masing-masing terdapat hiasan panel-panel, kecuali sudut kiri depan dihias dengan relief yang menggambarkan cerita “Sri Tanjung”. Dalam kisah tersebut muncul kisah tokoh Ra Nini jelmaan Dewi Lima Sakti Siwa. Nama Bajang Ratu pertama kali disebut dalam Oundheitkundig Verslag (OV) tahun 1915. Gapura Bajang Ratu menurut para ahli yang telah melakukan penelitian terhadap bangunan ini berhubungan dengan wafatnya Raja Jayanegara pada tahun 1328.

Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa Jayanegara wafat pada tahun 1328 M (Sira ta dhinarumeng kapopongan, bhiseka ring crenggapura pratista ring antawulan). Menurut Krom (1926), Crenggapura dalam Pararaton sama dengan Cri Ranggapura dalam Nagarakertagama, sedang Antawulan sama dengan Antasari. Sehingga disimpulkan bahwa dharma (tempat suci) Raja Jayanegara berada di kapopongan alias Crenggapura atau Cri Ranggapura berada di Antawulan atau Trowulan. Dengan demikian fungsi gapura diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci untuk memperingati wafatnya Jayanegara yang dalam Negarakertagama disebutkan kembali ke dunia Wisnu tahun 1328 M. Dugaan ini didukung oleh adanya relief sayap yang mempunyai arti sebagai lambang pelepasan. Gapura Bajang Ratu telah selesai dipugar dan telah diresmikan pada tahun 1992 oleh Direktorat Jendral Kebudayan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (sumber: prasasti di posko informasi Gapura Bajang Ratu)

 

CANDI TIKUS

ctksCandi ini terletak di Dusun Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Bangunan ini merupakan petirtaan, namun masyarakat menyebutnya Candi Tikus. Candi tersebut terbuat dari bahan bata merah dan dibangun ± 3,5 m di bawah permukaan tanah. Bentuknya bujur sangkar dengan ukuran 22,5 m x 22,5 m. Disebut Candi Tikus karena pada tahun 1914 dilakukan penggalian dan banyak sarang tikus. Hal ini dilakukan atas laporan Buapati Mojokerto bernama R.A.A Kromodjojo Adinegoro, yaitu adanya temuan miniatur candi di sebuah kuburan rakyat. Bnagunan ini diperkirakan didirikan pada abad XIII –XIV M. Mengenai fungsi candi tidak diketahui secara pasti, akan tetapi melihat dari bentuk dan susunan candinya yang memberi kesan bahwa candi ini mirip gunung Mahameru di India, maka menurut para ahli, candi ini konsep pembangunannya tidak lepas dari kesucian gunung Mahameru.

ctikus     Candi Tikus pernah dipugar pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tetapi kita tidak mendapatkan laporan secara rinci, namun demikian cukup banyak bukti yang dijadikan petunjuk antara lain pemasangan kembali menara candi induk dengan menggunakan semen dan pembuatan saluran pembuangan disisi selatan mengarah ke barat dengan menggunakan gorong-gorong.

Dan dipugar lagi oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala memalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Bekas Kota Kerajaan Majapahit pada tahun 1984/1985-1988/1989. Adapun pemugarnnya dilaksanakan secara partial atau sebagian-sebagian dan dinyatakan purna pugar tanggal 21 September 1989 dengan ditandai upacara peresmian oleh Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam pembenahan lingkungan diadakan perluasan areal tanah, sehingga halaman candi menjadi semakin luas. Bangunan candi ini disusun berteras-teras, susunan tersebut terdiri atas 3(tiga) teras.

cnd tkus

Susunan pada sisi utara terdapat tangga masuk dengan pipi tangga yang sudah rusak. Di teras I terdapat 8 buah bangunan ●, berbentuk candi. Sedang di atas teras II terdapat candi induk yang dikelilingi 8 buah candi lainnya yang berbentuk kecil-kecil. Susunan bangunan seperti ini mengingatkan pada Gunung Mahameru di India. Di sepanjang pondasi candinya terdapat hiasan kepala makara dan kuncup bunga padma, yang terbuat dari batu kali dan berfungsi sebagai i candi tidak diketahui dengan pasti, tetapi ada dugaan sebagai petirtaan suci, artinya air dari tempat tersebut dianggap sebagai air suci. Hal ini dapat dilihat dari bentuk dan susunan candinya yang memberi kesan sama dengan Gunung Mahameru (replika gunung Mahameru) di India. (sumber: prasasti di posko informasi Candi Tikus)

 

CANDI BRAHU

candi brahu     Candi Brahu terletak di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Candi Brahu lebih tua dibandingkan candi lain yang ada di sekitar Trowulan. Nama Brahu dihubungkan diperkirakan berasal dari kata “Wanaru” atau “Warahu”, yaitu nama sebuah bangunan suci yang disebutkan di dalam prasasti tembaga “Alasantan” yang ditemukan kira-kira 45 meter disebelah barat Candi Brahu. Prasasti ini dibuat pada tahun 861 Saka atau, tepatnya, 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Menurut masyarakat di sekitarnya, candi ini dahulu berfungsi sebagai tempat pembakaran jenasah raja-raja Brawijaya. Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap candi tersebut tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong.

Di sekitar kompleks candi pernah ditemukan benda-benda kuno lain, seperti alat upacara dari logam, perhiasan dan benda-benda lain dari emas, serta arca-arca logam yang kesemuanya menunjukkan ciri-ciri ajaran Buddha, sehingga ditarik kesimpulan bahwa Candi Brahu merupakan candi Buddha. Walaupun tak satupun arca Buddha yang didapati di sana, namun gaya bangunan serta sisa profil alas stupa yang terdapat di sisi tenggara atap candi menguatkan dugaan bahwa Candi Brahu memang merupakan candi Buddha. Diperkirakan candi ini didirikan pada abad 15 M.

Candi ini menghadap ke arah Barat, berdenah dasar persegi panjang seluas 18 x 22,5 m dan dengan tinggi yang tersisa sampai sekarang mencapai sekitar 20 m. Sebagaimana umumnya bangunan purbakala lain yang diketemukan di Trowulan, Candi Brahu juga terbuat dari bata merah. Akan tetapi, berbeda dengan candi yang lain, bentuk tubuh Candi Brahu tidak tegas persegi melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar.

Kaki candi dibangun bersusun dua. Kaki bagian bawah setinggi sekitar 2 m, mempunyai tangga di sisi barat, menuju ke selasar selebar sekitar 1 m yang mengelilingi tubuh candi. Dari selasar pertama terdapat tangga setinggi sekitar 2 m menuju selasar kedua. Di atas selasar kedua inilah berdiri tubuh candi. Di sisi barat, terdapat lubang semacam pintu pada ketinggian sekitar 2 m dari selasar kedua. Mungkin dahulu terdapat tangga naik dari selasar kedua menuju pintu di tubuh candi, namun saat ini tangga tersebut sudah tidak ada lagi, sehingga sulit bagi pengunjung untuk masuk ke dalam ruangan di tubuh candi. Konon ruangan di dalam cukup luas sehingga mampu menampung sekitar 30 orang. Di kaki, tubuh maupun atap candi tidak didapati hiasan berupa relief atau ukiran. Hanya saja susunan bata pada kaki, dinding tubuh dan atap candi diatur sedemikian rupa sehingga membentuk gambar berpola geometris maupun lekukan-lekukan yang indah. Candi Brahu mulai dipugar tahun 1990 dan selesai tahun 1995. Menurut masyarakat di sekitarnya, tidak jauh dari Candi Brahu dahulu terdapat beberapa candi lain, seperti Candi Muteran, Candi Gedong, Candi Tengah dan Candi Gentong, yang sekarang sudah tidak terlihat.

 

MAKAM TRALAYA

(SAYYID JUMADIL KUBRO)

jumadil kubro

Makam Tralaya terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Makam Tralaya merupakan pekuburan Islam Kuno di Kota Kerajaan Majapahit. Tralaya berasal dari kata sentra dan pralaya, sentra berarti tegal (tanah lapang), sedangkan pralaya/laya berarti rusak/mati. Kedua kata disingkat menjadi tralaya yang berarti tanah lapang untuk orang mati (pekuburan/makam). Makam Tralaya merupakan bukti adanya komunitas muslim di dalam kota kerajaan Majapahit. Bukti ini didukung oleh sumber tertulis berupa Kidung Sunda yang menguraikan tentang pasukan Kerajaan Sunda yang akan mengantarkan Puteri Raja Sunda sebagai calon pengantin untuk Raja Hayam Wuruk. Pasukan terdiri dari 4 orang utusan diiringi 300 orang punggawa. Utusan ini masuk ke ibukota Majapahit dan berjalan ke arah selatan sampai masjid Agung yg terletak di Palawiyan, selanjutnya berjalan lagi ke arah Timur dan Selatan.
Komplek Makam Tralaya atau makam Sayyid Jumadil Kubro diyakini keberadaannya sejak tahun 1368 masehi. Hal ini berdasarkan batu nisan pertama yang ditemukan di Trowulan yang terpahat tahun 1290 Saka (1368 M). Konon Beliau adalah kakek dari Sunan Ampel.

Syech Jumadil Kubro (atau Syeikh Sayyid Jamaluddin al-Husain al-Akbar bin Ahmad Jalal Syah bin Abdullah Khan bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad bin Ubaidullah bin Ahmad Al-Muhajir hingga terus menyambung ke silsilah Husein bin Ali bin Abi Thalib, suami Fathimah Az-Zahrah binti Muhammad SAW. Beliau adalah cucu ke-18 Rasulullah Muhammad Saw dari garis Sayyidah Fatimah Az Zahrah al-Battul) adalah seorang ulama dari Persia yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Beliau dilahirkan pada tahun 1349 M di sebuah daerah di kota Samarkhand, dekat kota Bukhoro yang merupakan wilayah negara Azarbaizan.

Menurut ahli sejarah, dari Sayyid Jumadil Kubro ini, terlahir sejumlah ulama besar yang tergabung dalam majelis Wali Songo. Diantaranya Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri dan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, serta Sunan Bonang yang berada di Tuban.

Sayyid Jumadil Kubro tiba di tanah Jawa sekitar abad ke-13(± 1250 M). Beliau memang sengaja diutus untuk menyebarkan agama Islam di kepulauan nusantara khususnya di Pulau Jawa. Dalam menjalankan amanat ini, Beliau dibantu oleh Syeikh Subakir yang merupakan ulama ahli ruqiyah serta menguasai dunia jin. Syeikh Subakir mempunyai misi yang berbeda dengan Syeikh Sayyid Jumadil Kubro. Ia bertugas menumbali tanah Jawa yang dikenal masih banyak pagebluk-pagebluknya tepatnya di Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah. (Dalam kitab Babat Tanah Jawi yang ditulis di masa Sultan Hadiwijaya di Pajang disebutkan waktu itu banyak orang Jawa yang meninggal dimakan pagebluk, mungkin maksudnya kena wabah penyakit yang sangat meluas).

Sayyid Jumadil Kubra mempunyai tiga putra, pertama Ali Barakat Jainul Alam mempunyai putra Maulana Malik Ibrahim (Gresik), yang kedua adalah Ali Nurul Alam mempunyai putra Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), dan yang terakhir adalah Ibrahim Asmaraqandi. Beliau wafat pada tahun 1376 M, 15 Muharram 797 H atau sekitar tahun 1376 Masehi.

 

VIHARA MAJAPAHIT

Vihara Majapahit terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan. Di sana terdapat Patung Budha  tidur yang dibuat sekitar tahun 1993 oleh YM Viryanadi Maha Tera. Sedangkan Maha Vihara Majapahit sendiri sudah berdiri sejak Desember 1989. Patung Budha tidur ini memiliki panjang 22 meter, lebar 6 meter, dan tinggi 4.5 meter. Patung ini di buat dari beton dan dipahat oleh perajin patung dari Trowulan, Kab. Mojokerto. Di sekeliling dan bawah patung juga terdapat ukiran-ukiran yang menceritakan kisah Budha.

budha turu

Di dalam kompleks Vihara Majapahit juga terdapat miniatur Candi Borobudur.

miniatur borobudur

Diskusi

Komentar ditutup.